Posted by PT. Solid Gold Berjangka on Senin, 21 November 2016
Keyakinan itu juga berlandasan pada target pemerintah dimana nantinya di tahun 2020 sekitar 75% orang dewasa (rentang umur 15 tahun ke atas) di Indonesia masuk dalam sistem keuangan atau perbankan. Dengan demikian, Sammuel mengatakan bahwa ini tentu akan menjadi peluang untuk meningkatkan transaksi digital.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) langsung menanggapi pernyataan International Data Corporations (IDC) yang meragukan kemampuan pemerintah merealisasikan target valuasi bisnis e-commerce di Indonesia sebesar USD 130 miliar pada 2020 mendatang. Tak hanya itu, Semuel juga menyoroti pernyataan IDC mengenai metode pembayaran yang menurutnya tak harus dilakukan dengan menggunakan kartu kredit saja.
Maka dari itu, lanjut Semuel, harus ada perubahan pola pikir di antara masyarakat mengenai alat pembayaran ini. Menurutnya apabila nanti sudah ditemukan alat pembayaran yang cocok untuk budaya di Indonesia maka transaksi otomatis akan meningkat.
"Oh, kalau menurut saya 2020 seharusnya bisa lebih dari itu. Mengapa, karena semua transaksi akan melewati digital. Apakah itu namanya bukan e-commerce? Kalau memang nantinya semua pembayaran melalui digital, ya pasti bisa lebih," ungkap Semuel kepada detikINET di Balai Kartini, Jakarta, Selasa (22/11/2016).
"Sekarang ini kan masih 36% masyarakat Indonesia masuk dalam sistem perbankan. Tapi nanti ketika 75%, artinya peluang akan semakin besar. Transaksi-transaksi akan terjadi secara online. Kalau itu dimasukkan sebagai e-commerce ya jauh semakin tinggi dong," ujar mantan Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) ini.
Menurutnya layanan ride sharing apapun itu masuk ke dalam kategori e-commerce. Saat ditemui selepas pembukaan Indonesia Internet Expo & Summit (IIXS), Dirjen Aptika Kominfo, Semuel A. Pangerapan mengaku optimistis bahwa Indonesia bisa mencapai target tersebut.
"Kalau kita bicara mengenai alat pembayaran. Masyarakat Indonesia ini bukan orang-orang yang gemar kredit. Ya kalau tidak ada uang ya tidak usah belanja. Kan gitu," papar Semuel. Bahkan, ia amat yakin bila nilai pasar e-commerce bisa melebihi dari target yang ditetapkan. Masih dalam pembahasan yang sama, Semuel tidak setuju apabila IDC tidak memasukan layanan Go-Jek dan sejenisnya sebagai e-commerce.
IDC: Target e-Commerce RI USD 130 Miliar Ketinggian | PT Solid Gold Berjangka
Jika mengacu pada tiga kategori tadi, nilai transaksi e-commerce di Indonesia tahun 2016 pada kategori pertama mencapai USD 202 juta. Target USD 130 miliar yang dicanangkan pemerintah Indonesia melalui roadmap e-commerce yang menjadi bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIV dinilai terlalu tinggi dan tidak sesuai kenyataan.
Menurut International Data Corporation (IDC), dengan situasi e-commerce yang ada di Indonesia saat ini angka tadi terlalu berlebihan. Sementara untuk kategori kedua nilainya USD 651,7 juta, dan kategori tiga bernilai USD 8 miliar.
"Kami melihat tidak ada e-commerce di Indonesia yang benar-benar murni e-commerce. Kita ambil contoh, mataharimall.com. Barang yang disajikan di online hampir sama dengan yang ada di toko fisik," ujar Sudev.
Menurut IDC, e-commerce didefinisikan sebagai perusahaan pure-play atau murni e-commerce. Maksudnya murni di sini adalah mereka melakukan segala sesuatunya sendiri, mulai dari barang, pembayaran, hingga pengiriman. Contoh nyata yang diberikan Sudev adalah Amazon.
Sedangkan di Indonesia, IDC melihat ada tiga kategori e-commerce, yakni perusahaan pure-play, perusahaan pure-play yang digabung dengan toko pihak ketiga atau dengan kata lain market place, dan terakhir adalah perusahaan yang mencakup pure-play, situs jual beli, hingga offline to online (O2O).
"Kalau kami lihat, definisi e-commerce yang ada di Indonesia untuk saat ini masih buram. Tidak ada definisi yang jelas. Jadi, target USD 130 miliar tadi menjadi tidak realistis," ujar Sudev Bangah, Country Manager IDC Indonesia di Jakarta, Senin (21/11/2016).
Itu untuk tahun 2016. Sedangkan untuk tahun 2020, kategori pertama transaksinya USD 578 juta, kategori kedua USD 1,8 juta, dan kategori ketiga USD 21 miliar. Hal ini karena definisi e-commerce yang disebut pemerintah berbeda dengan definisi e-commerce yang sebenarnya.
Hampir 90% Pengguna Internet RI Malas Belanja Online | PT Solid Gold Berjangka
Meski begitu, mengacu data International Data Corporation (IDC), hanya 13,3% pengguna internet yang membeli barang melalui internet. Sisanya kebanyakan menggunakan internet untuk kebutuhan lainnya, seperti misalnya mengakses email. Persentase ini sama dengan alasan bahwa masih kurang yakinnya masyarakat dengan metode pembayaran yang ditawarkan oleh sejumlah situs jual beli online.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia per bulan April 2016 mencapai 132,7 juta. Jumlah ini tumbuh pesat dari 2014 lalu yang hanya berkisar 88 juta. Tapi sayangnya, baru sedikit yang memanfaatkan aksesnya untuk berbelanja online.
"Selain mengakses email, kebutuhan terbesar kedua yakni mengakses hiburan, dilanjutkan dengan media sosial, mengakses berita, professional networking, dan terakhir online game," ujarnya lebih lanjut. Pengguna internet di Indonesia tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Begitupula dengan mereka yang takut dengan penipuan.
Persentase yang rendah ini dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat Indonesia yang masih gemar berbelanja di toko fisik. Dari hasil analisa, 68,5% beralasan karena produk yang mereka beli secara online tidak bisa dilihat secara fisik. Sementara 57,7% beralasan bahwa informasi produk yang tertera tidak begitu jelas.
"Dari apa yang kami temukan, mengakses email menjadi alasan terbesar masyarakat Indonesia menggunakan internet dengan persentase mencapai 17,8%," kata Sudev Bangah, Country Manager IDC Indonesia di Jakarta, Senin (21/11/2016).